Kamis, 03 April 2014

Sebuah Benteng Pertahanan di Tengah Gencarnya Serangan Globalisasi

      Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat, orang-orang pemberani rela berkorban demi adat dan kebudayaan bangsa. Itulah yang dilakukan oleh Abdul warga Cigondewah kota Bandung. Ditemani oleh ke dua orang temannya, Ari Kumis, warga Sukapada dan Bejo, warga Ciwastra, mereka bertiga bertarung melawan arus globalisasi dengan berjualan pakaian tradi-sional Sunda.
      Pekerjaan yang dilakukan oleh Abdul dan teman-temannya ini sudah dilakukan jauh sebelum adanya program rebo nyunda oleh Walikota Bandung. Sejak tahun 1998, mereka sudah berjualan pakaian tradisional Sunda. Mereka berjualan di sekitar Jl. Diponegoro Bandung. Mereka me-ngaku melakukan pekerjaan tersebut demi mencari penghasilan. “Daripada tidak ada pekerjaan”.
      Satu set baju pangsi, iket, kujang, dan tas tradisional adalah  barang dagangan Abdul dan kedua temannya. Harganya relatif murah, untuk satu set baju pangsi dan iket harganya Rp 150.000, tas Rp 70.000, dan kujang Rp. 10.000. Iket adalah barang yang paling sering dicari oleh para pembeli karena cara pemakaiannya yang praktis. “Kadang dipakai sal atau dipakai seperti biasa”.  Selain itu, harganya pun sangat murah. Hanya dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 15.000-Rp 20.000 saja barang tersebut sudah bisa didapat.
      Abdul mengatakan bahwa pelanggan yang sering membeli barang dagangannya adalah masyarakat Sunda. “Umumnya masyarakat biasa atau masyarakat Jawa Barat”. Kebanyakan dari pembelinya adalah para PNS yang ada di sekitar JL. Diponegoro.
      Dari hasil penjualan pakaian tradisional tersebut, biasanya Abdul dan kedua temannya mendapatkan keuntungan sebesar Rp 70.000 sampai Rp 100.000, bahkan bisa mencapai Rp 300.000 per harinya. Hasil tersebut ia bagi bersama kedua orang temannya. Uang yang ia bawa untuk keluarganya memang tidak banyak. Namun seperti yang ia katakan, “Daripada tidak ada pekerjaan”.
      Dalam menjalankan usahanya, Abdul mengaku banyak sekali kendala yang sering dialami. “Kadang tidak laku, kadang komplen”. Kedua kendala tersebut sering diakibatkan oleh barang yang cacat atau jahitannya yang jelek. Ia pun mengatakan jika ada pembeli yang komplen, maka barang yang sudah dibeli bisa ditukar dengan barang yang lebih bagus.

      Sebagai orang Sunda asli, Abdul mempunyai harapan yang sangat besar akan budaya nenek moyang yang sangat ia ciintai itu. Ia berharap agar pakaian tradisional Sunda bisa berkembang. “Jangan punah, harus dilestarikan”. Ia pun berharap budaya-budaya Sunda yang lain pun jangan sampai hilang dari Jawa Barat. “Dengan adanya Pak Ridwan Kamil itu bagus karena melestarikan budaya Sunda. Jadi jangan punah”.